Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, August 28, 2009

Ketegangan Indonesia-Malaysia: Sindroma Negara Pasca Kolonial

Ketegangan Indonesia-Malaysia: Sindroma Negara Pasca Kolonial

Oleh Aris Arif Mundayat


Persengketaan masalah kebudayaan antara Malaysia dan Indonesia yang tengah berlangsung akhir akhir ini sesungguhnya dapat kita pahami sebagai fenomena “satu bangsa yang terbelah”. Hal ini perlu kita pahami dalam konteks Indonesia dan Malaysia adalah negara bangsa pascakolonial. Kolonialisme Belanda di Indonesia dan kolonialisme Inggris di Malaysia telah membelah imajinasi rumpun Melayu di kedua negara tersebut. Jika kita telusuri sejarah menuju kemerdekaan Indonesia, kita akan menemukan catatan sejarah bahwa ada utusan Malaya dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang menyepakati terbentuknya "Indonesia Raya" termasuk di dalamnya wilayah Malaysia sekarang. Namun, dalam perkembangannya kemudian imaji kebangsaan mengalami perubahan sehingga Malaya menjadi bagian dari negara Malaysia, bukan termasuk dari Indonesia Raya seperti yang dibayangkan dalam sidang BPUPKI sebelumnya. Kenyataan sejarah itu harus kita hargai, meskipun di zaman itu kemudian menghasilkan konfrontasi dengan Malaysia karena Indonesia merasa dikhianati oleh kesepakatan utusan Malaya.

Gagalnya “Indonesia Raya”

Tampaknya, efek konfrontasi itu tidaklah berhenti begitu saja dan masih menyisakan sejumlah ketegangan hingga masa sekarang, baik politik, budaya, dan masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Pengiriman tenaga kerja berpendidikan rendah ke Malaysia memang telah menyebabkan stereotype bahwa Indonesia adalah bangsa yang rendah di mata orang Malaysia yang memiliki jiwa feodal. Namun, tentu tidak semua orang Malaysia berkarakter demikian. Jauh lebih banyak lagi orang Malaysia yang tidak feodalis. Di era 1960—1970an, orang Malaysia melihat Indonesia sebagai bangsa yang terdidik karena mengirim guru untuk mengajar di Malaysia dan Malaysia mengirim pelajarnya ke sejumlah universitas di Indonesia, antara lain di Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Alumni dari universitas-universitas tersebut sebagian menjadi tokoh dan negarawan maupun cikal-bakal dunia pendidikan di Malaysia. Dalam konteks sekarang, ini artinya bangsa Indonesia mengalami kemerosotan intelektual dan ekonomi, jika dibanding dengan Malaysia yang lebih berhasil secara ekonomi sehingga warganya lebih mampu menjangkau pendidikan yang lebih tinggi daripada warga Indonesia. Ini adalah kerugian simbolik dari pengiriman tenaga kerja berpendidikan rendah yang membangun citra negatif meskipun hal itu menghasilkan devisa yang menguntungkan.

Tenaga kerja Indonesia (TKI) yang pada umumnya menjadi pekerja rendahan di Malaysia menyebut diri mereka sebagai “orang Indon” yang kemudian dipakai oleh orang Malaysia untuk menyebut semua orang Indonesia sebagai “Indon”. Kata ini di Malaysia sesungguhnya tidak berkonotasi negatif, namun bagi orang Indonesia penyebutan itu bermakna negatif. Bahkan, orang Indonesia yang tidak paham akan menyangka bahwa istilah tersebut dipakai oleh orang Malaysia untuk merendahkan bangsa Indonesia, padahal sama sekali tidak karena mereka hanya mereproduksi istilah ‘Indon‘ yang digunakan oleh TKI di negeri jiran tersebut.

Situasi ini tampak seperti memperburuk relasi, namun pada dasarnya hal itu hanya ada di media massa. Dalam kehidupan sehari-hari, bagi orang Malaysia masalah itu adalah masalah kecil yang tidak menjadi berita besar. Dan mungkin karena itulah orang Indonesia melihat bahwa orang Malaysia “telinganya tebal”. Fenomena stereotype tersebut kemudian semakin parah ketika peristiwa Sipadan Ligitan yang oleh Mahkamah Internasional ditetapkan sebagai milik Malaysia, juga masalah Blok Ambalat. Ini adalah ekspresi kegagalan “Indonesia Raya” yang pernah dibicarakan dalam sidang BPUPKI.

No comments:

Post a Comment